Jakarta,www.jayaposnews.co.id – Sejak 2004, Daeng Azis menjadi penguasa tunggal di Kalijodo. Ia menjadi besan H Agus, pesaingnya asal Banten.
Tawuran massal bermotif etnis antara geng Makassar dan Mandar di Kalijodo pada 22 Februari 2002 akhirnya membuka topeng H Usman Nur di mata keluarganya. Sebelumnya, selama bertahun-tahun, ia mencitrakan diri sebagai pengusaha. Sikap dan perilakunya pun santun sehingga amat dihormati dan disegani kerabat dekatnya.
Ketika media massa berhari-hari menyoroti insiden tersebut, Usman masih bisa menyembunyikan identitasnya. Wartawan tak ada yang mengenali, apalagi mewawancarainya. Tapi, ketika piagam perdamaian harus ditandatangani di kantor Kepolisian Resor Jakarta Utara, mau tak mau dia muncul di hadapan publik. Wajahnya kemudian terpampang di media massa. Namanya ditulis dengan predikat sebagai salah satu tokoh preman asal Mandar yang bertikai dengan kelompok Abdul Azis Emba alias Daeng Azis dari kelompok Makassar di Kalijodo.
Usman Nur (bertopi hitam) mewakili kelompok Mandar dan Abdul Azis (berbaju hitam, membungkuk) dari kelompok Makassar menandatangani piagam perdamaian di Polres Jakarta Utara, Mei 2002.
Tesis itu mengantarnya meraih gelar master dari Universitas Indonesia pada 2005. Kini Listyo, yang berpangkat komisaris besar, sejak akhir 2014 dipercaya menjadi ajudan Presiden Joko Widodo.
Setelah mundur dari Kalijodo, Usman mengaku berdagang air minum mineral di kawasan Bekasi Timur. Ia juga membuka usaha perbengkelan di Muara Karang, Jakarta Utara. Tapi seorang polisi yang bertugas di Kalijodo dan beberapa petugas keamanan di gang-gang di kawasan itu mengatakan Usman kemudian memilih pulang ke kampung halamannya di Mandar.
Menurut seorang polisi berpakaian preman yang lama bertugas di Kepolisian Sektor Penjaringan, Usman baru benar-benar mundur dari Kalijodo sejak pertengahan 2005. Selain karena malu pada keluarga, dia kalah bersaing dengan Daeng Azis. Dua mitra Usman, H Agus dan H Riri asal Banten, pun kemudian bersekutu dengan Azis. Perekatnya adalah perkawinan keponakan Agus dengan adik Azis pada 2004.
Sekarang praktis cuma Daeng Azis penguasa di sini,bisik seorang polisi yang biasa berpatroli di Kalijodo kepada Media, Jumat, 12 Februari lalu. Selain memiliki Kafe Intan yang luas, Azis menjadi distributor tunggal berbagai barang untuk konsumsi kafe-kafe di Kalijodo. Di sini bir cuma dua merek, yang lain enggak bisa masuk karena harus lewat dia, kata si polisi.
Leonard Y. Andaya dalam buku Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad Ke-17 menulis keberadaan orang Bugis dan Mandar di kawasan ini tercatat sejak abad ke-17. Tepatnya ketika Arung Palakka (pahlawan dan bangsawan Bugis dari Bone) beserta pengikutnya harus menyingkir akibat desakan pasukan Kerajaan Gowa pada 1663. Tiga tahun kemudian, Arung Palakka kembali bersama pengikutnya, yang disokong tentara VOC, menuju Makassar untuk membalas Sultan Hasanuddin dari Gowa. Para prajurit Arung Palakka asal Batavia ini kemudian dikenal dengan sebutan Toangke atau orang dari Angke karena pernah bermukim di sekitar Kali Angke.
Pada 1965, orang-orang dari Makassar dan Mandar kembali berduyun-duyun ke kawasan Angke. Menurut Kunarso Suro Hadi Wijoyo, pensiunan marinir yang menetap di Kalijodo sejak 1968, orang-orang Makassar dan Mandar mulai banyak yang masuk ke daerah itu pada 1965. Kala itu mereka menjadi pekerja di pabrik-pabrik di Jalan Bidara dan Teluk Gong. Para pendatang itu mengontrak atau membeli rumah yang dijual oleh anak-cucu pegawai tata air. Semua warga biasa mandi di kali karena airnya masih bersih, ujarnya.
Pada 1968, seorang tokoh Mandar bernama Kamelong merintis usaha judi koprok, yang digemari orang-orang Tionghoa di Kalijodo.
Sejak Kamelong berbisnis, hingga 1982 jumlah orang Mandar nyaris sebanding dengan orang Makassar. Hal ini membuat gesekan di antara kedua suku itu kerap terjadi. Mereka yang berasal dari Makassar merasa sebagai mayoritas dan masih berdarah ningrat ketimbang orang Mandar, yang dianggap dari pedalaman.
Sebaliknya, orang Mandar, yang secara ekonomi kondisinya lebih baik, menyebut orang Makassar tak lebih dari para kuli pelabuhan. “Mereka sama-sama keras, tak mau kalah kalau sudah saling ledek. Buntutnya ya saling tusuk dengan badik,tuturnya.
“Selama saya menjadi Kapolsek Penjaringan, perjudian di Kalijodo tidak akan saya buka.”
Kamelong menjalankan usaha perjudian hingga 1992. Ia memiliki dua orang kepercayaan asal Serang, Banten, yakni H Agus dan H Riri. Kamelong mengembuskan napas terakhir pada 1992 di pangkuan Riri. Bisnisnya kemudian dilanjutkan oleh keponakannya, H Usman Nur.
Sementara itu, Abdul Azis Emba atau yang kerap disapa Daeng/Karaeng Azis, yang semula cuma menjadi pemasok bir, turut membuka lapak perjudian di Kalijodo pada 1994. Dua tahun kemudian, menurut Listyo, aparat TNI Angkatan Darat bernama Junaidi juga membuka lapak judi di wilayah barat Kalijodo. Ia mengajak Riri bergabung dengannya. Tapi kiprah Junaidi di bisnis ini tak berlangsung lama karena Polisi Militer merazia lapak bisnisnya,tulis Listyo.
Sejak itu, Azis menjadi pesaing utama Usman. Tapi Azis sepertinya lebih ambisius dalam berbisnis. Lelaki kelahiran Makassar, 10 Agustus 1967, itu menjalin relasi yang luas. Bukan cuma dengan para tokoh Makassar di Jakarta, ia juga berhubungan baik dengan pengurus partai politik tertentu hingga perwira tinggi kepolisian.
Tentang hal ini, Krishna Murti saat menjadi Kepala Polsek Penjaringan pada 2001-2004 mengaku pernah mendapat semacam intervensi dari seorang perwira kepolisian dan elite partai tertentu. Kala itu mereka dengan cara dan gaya masing-masing mencoba mendekati Krishna agar Azis diberi izin membuka lapak perjudian di Kalijodo. Namun keponakan Sidarto Danusubroto, mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, itu kukuh dengan pendiriannya. Ia melarang segala bentuk perjudian beroperasi kembali di wilayah hukumnya.
Sampai kapan pun, selama saya menjadi Kapolsek Penjaringan, perjudian di Kalijodo tidak akan saya buka,†tulis lelaki kelahiran 15 Januari 1970 itu dalam bukunya, Geger Kalijodo.
Setelah menemui Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada Senin, 15 Februari 2016, Azis menegaskan tak lagi berurusan dengan perjudian. Tapi ia tak membantah bila dikatakan masih menjadi pemasok minuman. Hanya, omzetnya tak sampai Rp 1,5 miliar setiap malam seperti digunjingkan banyak orang. Itu kata dusta. Bohong sergah Azis, yang mengenakan kalung dan gelang emas, dalam logat Makassar yang masih kental.
Akhir Sasa dan Germonya
Sepi pengunjung, pekerja seks di Kalijodo menawarkan harga diskon. Germonya bersiap jadi distributor elpiji.
Dalam dandanan yang mengundang berahi, enam perempuan muda itu lebih banyak duduk di kursi-kursi display sebuah kafe di Gang Kambing, Kalijodo, Jakarta Utara. Di antara entakan musik dangdut Pantura yang memekakkan telinga, mereka menyapa ramah pengunjung, seraya mengerlingkan mata genit menggoda. Satu di antaranya mengaku bernama Sasa, asal Jepara, Jawa Tengah. Sorot matanya seperti tak henti menatap ke arah awak media yang datang bersama seorang teman dari media elektronik pada Kamis, 11 Februari lalu. Ayo, Mas, mumpung diskon, lo, kata Sasa merayu saat Media mendekat.
Tarif sekali kencan selama 30 menit di situ biasanya Rp 150 ribu. Tapi malam itu, dengan harga diskon, Sasa mengajukan harga Rp 130 ribu. Alasan pemberian diskon adalah sepinya pengunjung. Hal itu tak lepas dari rencana Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menggusur kawasan prostitusi tersebut menjadi ruang terbuka hijau.
Sidik, Ketua RT 03 RW 05, Kelurahan Pejagalan, menjamin para wanita penghibur yang beroperasi di Kalijodo cukup bersih. Sebab, mereka secara rutin memeriksakan kesehatan. Hasil tes HIV mereka negatif. Di sini juga sudah kondom mandiri, enggak disubsidi pemerintah, ujarnya seperti berpromosi.
Prostitusi di Kalijodo sebetulnya sudah berlangsung sejak abad ke-18. Hanya, menurut novelis Remy Sylado, penyedia jasa dan penikmatnya kala itu adalah para imigran Tionghoa yang tengah berusaha di Batavia. Sebab, Cina daratan kala itu tengah dikuasai Dinasti Manchuria. Dulu kali itu masih rimbun karena banyak bakau dan semak belukar. Airnya juga masih jernih. Orang mencari nafkah di situ. Ada musiknya. Biasanya transaksi seksual dilakukan di atas rakit bambu yang dipasangi atap.
Para perempuan yang diperisteri kemudian disebut ca-bau-kan. Ini jadi tradisi waktu itu. Berbarengan dengan tradisi membuat rumah toko, rumah membina keluarga sekaligus tempat berdagang,ujar Remy kepada awak media melalui telepon. Aktivitas di Kalijodo sempat surut pada masa pendudukan Jepang, 1942-1945. Setelah itu, aktivitas kembali menggeliat dengan pendatang yang sudah campur aduk. Tapi lebih banyak pelaut-pelaut antar daerah.
Berbeda dengan di kafe atau bar di kawasan prostitusi daerah lain, para pekerja seks di kafe-kafe Kalijodo yang didatangi awak media pada Kamis, Jumat, dan Sabtu dua pekan lalu tak diizinkan berlama-lama berbincang dengan pengunjung. Mereka juga dilarang menemani minum pengunjung, apalagi sampai kencan di luar area kafe. Bila aturan itu dilanggar, beberapa petugas keamanan akan langsung mendekat. Para pekerja seks itu pun biasanya langsung ciut nyali, dan kembali ke tempat duduk. Hal seperti itu yang diperlihatkan Sasa dan dua temannya.
Kita langsung ngamar di atas saja, deh. Kalau keluar, nanti dimarahi orang-orang itu,ujar Sasa setengah berbisik. Matanya mengerling ke arah dua lelaki berbadan tegap di sudut-sudut kafe.
Ia mengaku baru lima bulan bekerja di kafe itu. Jika pengunjung ramai, dalam sebulan Sasa mengaku bisa mendapatkan penghasilan hingga Rp 30 juta. Tapi jumlah itu masih harus dipotong untuk biaya sewa kamar, makan, perawatan kesehatan, dan bagi hasil dengan pemilik kafe alias germo.
Bukan cuma kalangan pekerja seks yang galau atas rencana penggusuran oleh pemerintah DKI. Iwan Bintang, 35 tahun, juru parkir, dan Ridwan, pekerja di kafe Suryana, pun mengalami perasaan serupa. Keduanya tak tahu harus mencari pekerjaan di mana pascapenggusuran nanti. Menurut Iwan, keberadaan lahan parkir di kafe-kafe menjadi sumber penghidupan dan mengurangi tindak kriminal di Kalijodo.
Ya, lumayanlah, bisa dapat Rp 2 juta sebulan. Daripada (berbuat tindak) kriminal, kan mendingan begini, Bang,ujarnya.
Sementara itu, sebagai pengusaha kafe, Suryana mengaku tekor dalam sepekan terakhir. Ia harus merogoh kocek pribadi untuk membayar upah, menyediakan makan-minum, dan berbagai keperluan rutin lainnya bagi segenap pegawainya, yang berjumlah sekitar 60 orang. Itu belum termasuk untuk membayar jasa tukang parkir dan petugas keamanan. Padahal jumlah pengunjung di ketiga kafe miliknya menurun drastis, sedangkan pemasukan nyaris nihil.
Saya tidak pernah paksa mereka. Kalau mau kerja, ya silakan, saya sediakan tempat. Kalau enggak, ya silakan keluar. Saya enggak ribet.”
Biasanya sih bisa dapat tiga jutaan rupiah per malam,kata lelaki asal Serang, Banten, itu saat berbincang dengan awak media, Senin malam, 15 Februari lalu. Pemasukan sebanyak itu terbesar berasal dari penjualan bir. Ia mematok harga bir Rp 70 ribu per botol. Padahal, di swalayan, rata-rata harganya cuma Rp 30 ribu. Setiap pengunjung yang baru duduk akan langsung disodori minimal lima botol bir. Tiga botol di antaranya langsung dibuka dan harus dibayar.
Lelaki berusia 43 tahun tersebut memiliki tiga kafe di kawasan RT 01 RW 05, Pejagalan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, itu. Ketiganya diberi nama Kafe Surya Enjoy 1, Kafe Surya Enjoy 2, serta Kafe 5758. Kafe Surya Enjoy 1 berdekatan dengan Kafe Intan milik Abdul Azis Emba alias Daeng Azis, penguasa Kalijodo.
Sebelum membuka kafe, sejak 2003 Suryana adalah petugas keamanan di beberapa kafe di Kalijodo dengan upah Rp 15 ribu per hari. Karena penghasilan yang jauh dari mencukupi, sekitar lima tahun lalu ia nekat mengagunkan sertifikat tanah milik saudaranya di kampung. Dari bank, Suryana mendapat pinjaman Rp 300 juta untuk modal membangun kafe. Bangunnya bertahap, enggak langsung empat lantai kayak begini,ujarnya.
Pengalamannya sebagai petugas keamanan membuat kafenya jarang mendapat gangguan. Usahanya terus berkembang. Tahun lalu ia membangun Kafe 5758 dengan modal Rp 1,8 miliar. Belum sempat balik modal, eh situasinya udah kayak gini, ujar Suryana masygul.
Selain menjual minuman, ia juga menyediakan 47 wanita penghibur. Mereka berasal dari berbagai daerah di Banten, Jawa Tengah, Sumatera Selatan, Kalimantan, dan Nusa Tenggara Barat. Usia mereka rata-rata 18-30 tahun. Yang pindahan dari Dolly (Surabaya) juga ada, ujarnya.
Sebagian wanita penghibur yang bekerja di kafenya sudah ia izinkan pergi dari Kalijodo. Ada yang mengaku pulang ke kampung halaman, ada yang sekadar hijrah ke tempat keluarga di seputaran Jakarta, ada juga yang mencari daerah operasi lainnya.
Saya tidak pernah paksa mereka. Kalau mau kerja, ya silakan, saya sediakan tempat. Kalau enggak, ya silakan keluar. Saya enggak ribet, ujar Suryana.
Dalam hitungan beberapa hari ke depan, bila penggusuran benar-benar terjadi, ia siap menjual semua asetnya, yang ditaksir bernilai hingga Rp 5 miliar. Selanjutnya, kata Suryana, ia akan beralih menjadi distributor elpiji di Serang, Banten. Surat izin usaha udah lama saya urus,ujarnya.
Bentrok FPI dan Anak Macan di Kalijodo
Pentolan mafia di Kalijodo umumnya muslim dan bertitel haji. Tak pernah menggubris imbauan FPI.
Hingga pertengahan 2002, Kalijodo boleh dibilang sebagai the untouchable zone. Tak aneh bila banyak orang merasa nyaman berjudi atau melakukan aktivitas prostitusi di sana tanpa khawatir dijerat hukum. Polisi seperti sudah memaklumi apa yang terjadi di kawasan seluas 1,4 hektare itu. Begitu juga dengan aparat pemerintah daerah. Kok, bisa?
“Ah, itu sudah jadi rahasia umum. Waktu itu yang berkuasa bukan cuma daeng dari Makassar dan Mandar, atau Banten. Bapak-bapak polisi dan aparat berseragam lainnya juga ikut terlibat, kok, kata seorang pengurus wilayah di lingkungan Kelurahan Pejagalan, Penjaringan, Jakarta Utara, saat berbincang dengan awak media awal pekan lalu.
Hingga kurun waktu itu, diperkirakan ada sekitar seribu preman yang bertindak sebagai penjaga keamanan. Mereka bertugas menjaga keamanan dan memberikan kenyamanan terhadap lima sampai seribu penjudi serta ratusan penjaja makanan dan minuman. Juga kepada sekitar 500 pekerja seks, yang setiap malam menjadi pemanis aktivitas di Kalijodo.
FPI lari tunggang langgang masuk jalan tol setelah kewalahan menghadapi Anak Macan yang bersenjata tajam.”
Kenyataan tersebut, si pengurus warga melanjutkan, kerap membuat dia dan pengurus lainnya di lingkungan itu dilematis. Bila ada kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan situasi dan kondisi Kalijodo, demi keamanan, mereka biasanya mengikuti sikap bos-bos itu saja. Begitupun dengan pejabat daerah setingkat camat, tak berani bertindak tanpa seizin mereka.
Dulu pernah mau bongkar bangunan. Satpol PP dan alat-alat udah ready. Tapi enggak bergerak-gerak karena camat nunggu sampai daengnya bangun tidur,tuturnya.
Meski pengusaha kafe di Kalijodo ada yang keturunan Tionghoa, penguasanya hampir semua muslim dan bertitel haji. Karena itu, mereka tak terlalu peduli terhadap organisasi-organisasi yang bertingkah bak polisi moral.
Idham Azis, yang membuat tesis tentang Organisasi Arkan Malik dalam Pengelolaan Judi di Kelurahan Jakarta menulis, para jawara di Kalijodo pernah menantang Front Pembela Islam, yang mengimbau agar mereka menutup kawasan judi dan lokalisasi tersebut.
Silakan tutup dulu tempat-tempat lain yang kalian sanggup. Kalau bisa, baru Kalijodo akan kami tutup, begitu mereka membalas.
Ketika FPI nekat melakukan razia ke kawasan Kalijodo, satuan-satuan pengamanan milik para jawara di sana tak tinggal diam. Salah satu yang bergerak cepat dan brutal adalah satuan Anak Macan di bawah kendali Arkan Malik. Saat itu FPI lari tunggang langgang masuk jalan tol setelah kewalahan menghadapi Anak Macan yang bersenjata tajam, tulis Idham, yang kini menjabat Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah dengan pangkat inspektur jenderal.
Ketua Bidang Organisasi Dewan Pimpinan Pusat FPI Munarman menepis cerita bahwa massa FPI pernah dipukul mundur oleh para preman Kalijodo. Ia menilai cerita semacam itu rekayasa yang sengaja dikembangkan, Biar kalau FPI ke Kalijodo, akan disebut sebagai aksi balas dendam.†Anak Macan adalah struktur paling bawah dari organisasi judi milik Usman.
Jumlah mereka paling banyak dibanding pekerja lain yang berkaitan langsung dengan kegiatan operasional perjudian. Mereka ditampung dalam pos-pos atau divisi yang ada, di antaranya di bangunan yang belum digunakan oleh organisasi tersebut. Yang tidak kebagian barak tinggal di rumah-rumah kontrakan dekat lokasi judi. Mereka sengaja ‘dipelihara’ dengan pertimbangan agar tidak menjadi preman liar, tulis Idham.
Untuk honor harian, ujarnya lebih lanjut, Usman melalui organisasi Arkan Malik memberi setiap anggota Anak Macan sebesar Rp 15-20 ribu. Honor tertinggi didapat mereka yang menduduki posisi staf, yakni Rp 250 ribu. Sedangkan penjaga gerbang dan tenaga bantuan masing-masing mendapatkan Rp 50 ribu dan Rp 30 ribu.
Walaupun dalam organisasi mereka memiliki aturan-aturan, seperti tidak boleh membuat onar, mabuk, dan minum obat-obatan terlarang di sekitar lokasi perjudian, kenyataannya banyak juga Anak Macan yang membuat onar. Bila sampai demikian, sanksinya bisa dipulangkan ke kampung halaman masing-masing. “Namun ada kalanya kaki si pembuat onar dilukai dengan tombak agar mereka cacat dan tidak berulah lagi, tulis Idham.
Berbeda dengan Usman, kelompok Azis tak bisa dianggap remeh, walaupun tidak terorganisasi serapi pesaingnya. Kelompok ini memiliki ratusan pengikut setia, yang selama ini menumpang hidup dengan keberadaan tempat perjudian dan hiburan malam itu. Mereka terikat oleh perasaan senasib sebagai perantau asal satu kampung halaman.
Bedanya, sementara Usman mengandalkan kelompok Anak Macan untuk mengamankan tempat usahanya, Azis mengamankan lahan judinya dengan menjadikan para penganggur sebagai hansip. Namun, pascatawuran massal pada Februari 2002, Polsek Penjaringan, yang kala itu dipimpin Komisaris Krishna Murti, berkat sokongan penuh Kepala Polda Irjen Makbul Padmanegara dan Gubernur Sutiyoso, berhasil melumpuhkan semua kekuatan preman di Kalijodo.
Peta konflik di Kalijodo waktu itu tinggi sekali. Mereka (kelompok) Makassar, Mandar, dan Serang bisa saling serang dengan membakar-bakar. Jumlah premannya bisa mencapai 2.000-an, tapi sudah kami sikat semua. Sekarang lihat saja, di sini kebanyakan orang Jawa, ujar Krishna saat melakukan patroli ke Kalijodo pada Kamis, 18 Februari, malam lalu.
(Rosid)