JAKARTA, Jaya Pos News – Anggota DPRD Bali, DR Somvir, kini tidak bisa tidur nyenyak. Betapa tidak? Satu -persatu permainan kotor selama Pemilu legilsatif 2019 lalu, kini mulai terbongkar. Bukan sekedar terbongkar ke public, tetapi dilaporkan ke Lembaga Penegak Hukum.
Misalnya, kasus LPPDK fiktif alias LPPDK Rp 0. kasus LPPDK fiktif dilaporkan sebelumnya telah dilaporkan ke DKPP, 12 Februari 2021 dan sedang diverifikasi materiel serta tinggal menunggu jadwal persidangan. Kini kasus LPPDK fiktif kembali dilaporkan ke Lembaga Anti Rasuah KPK.
Pelapornya adalah Gede Suardana, S.Farm. Apt, sebagai penasehat LSM FMPK. Suardana melaporkan Somvir, 19 April 2021 ke KPK karena melihat adanya dugaan konspirasi dan tindakan perlawanan hukum.
“Karena dilaporkan menggunakan laporan dana kampanye fiktif, untuk meraih jabatan kursi DPRD Bali. Diduga Negara dirugikan menggaji Somvir yang seharusnya dipenjara sesuai pasal 497 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Somvir seharusnya ada di penjara dengan membuat laporan dana kampanye doduga secara tidak benar. Terbukti Somvir memberikan banyak uang kepada kelompok orang, memasang baliho di banyak billboard berbayar, memberi APK kepada Ketut Adi Gunawan Cs dan sejumlah uang,” beber Suardana.
“Perang” di Jalur Hukum
Ia juga melihat ada dugaan konspirasi dengan Bawaslu Bali yang meloloskan Somvir sebagai terlapor dengan dalil yang berlawanan dengan fakta hukum. Bawaslu tidak menaikan ke penyidikan LPPDK fiktif dengan alasan konyol yaitu karena dikejar waktu padahal ada cukup waktu. “Alasan yang konyol lainnya yaitu karena adanya perbedaan pendapat,” ungkapnya lagi.
“Akibat pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Somvir, negara diduga dirugikan miliaran rupiah,” urai Suardana.
Dalam pembuka surat laporannya, Suardana menyatakan, “Bersama ini melaporkan dugaan kerugian keuangan negara yang diakibatkan pemberian honor dan tunjangan kepada Dr. Somvir selaku anggota DPRD Provinsi Bali yang diduga telah melakukan tindak pidana Pemilu dan seharusnya telah dicopot dari jabatannya semenjak ia dilantik.”
Kemudian, Suardana secara panjang lebar dan rinci membeberkan kronologis peristiwa pelanggaran hukum yang dilukan Somvir, sang politisi NasDem asal India itu.
“Sebelum penetapan calon legislative terpilih pada 20 Juni 2019, kami telah melaporkan ke Bawaslu Provinsi Bali di Denpasar. Perihal caleg terpilih Dapil 5 No. Urut 10 untuk DPRD Provinsi Bali atas nama Dr. Somvir dari Partai Nasdem telah memberikan laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye (LPPDK) dengan nilai nol atau dengan kata lain caleg bersangkutan tidak pernah menerima ataupun mengeluarkan dana sama sekali selama masa kampanye,” urai Suradana.
LPPKD Rp 0 itu sebenarnya juga sudah diakui Somvir maupun KPU Bali. ”Bahwa KPU Provinsi Bali juga telah mengakui LPPDK Dr. Somvir Rp.0, meskipun saldo awal dana kampanye Dr. Somvir dilaporkan berisikan dana Rp. 1.000.000,” jelas Suardana.
Disebutkan Suardana, LKKPD Rp 0 itu itu merupakan sebuah kebohongan luar biasa dan merusak nilai-nilai demokrasi karena secara kasat mata masyarakat Kabupaten Buleleng menemukan puluhan baliho di billboard berbayar, penyebaran APK berupa Kartu Suara dan Spesimen Surat Suara banyak tersebar serta pada masa kampanye Pileg 2019 tepatnya 7 April 2019 telah memberi uang kepada Ketut Adi Gunawan bersama sepuluh teman lainnya sebanyak Rp100.000,00 per orang di area Hotel Lilys, Lovina, Buleleng dengan dibekali pula kartu nama dan brosur yang berisikan foto Dr. Somvir sebagai Caleg dari Partai NasDem.
“Bahwa laporan masyarakat oleh Kami yang telah diterima Bawaslu Provinsi Bali dengan tanda bukti penerimaan laporan Nomor : 007/ LP/ PL/ Prov/ 17.00/ VI/ 2019 tertanggal 20 Juni 2019 dengan penerima Sang Putu Aditya Palguna, S.Kom, tidak diproses sesuai dengan prosedur yang berlaku yaitu UU No. 7 Tahun 2017 Pasal 334, 335, 339, 496, dan 497,” paparnya.
Suardana menjelaskan bahwa kebenaran logika, untuk mendapat pemilih 11 ribu lebih, secara akal sehat dan pengalaman empirik peserta pemilu, pasti perlu sarana biaya komunikasi, transportasi, konsumsi dan lainnya sehingga tidak logis bila Somvir tidak mengeluarkan uang alias Rp 0 selama masa kampanye hingga pencoblosan.
“Ketaatan terhadap UU adalah keharusan mutlak, tapi Dr. Somvir melawan UU sepatutnya dianulir keterpilihannya sebab jika tidak perilaku Dr. Somvir akan menjadi olok-olok peserta Pemilu lainnya, penyelenggara pemilu dan terutama untuk UU Pemilu di Indonesia,” paparnya.
Dengan dilaporkannya Dr Somvir ke KPK, kami berharap KPK dapat bertindak dengan cepat dan profesional, ujarnya. (PHL/TS)