KABUPATEN TOBA, jayapisnews.com– Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Choirul Anam meminta Kapolres Toba AKBP. Akala Fikta Jaya mengusut tuntas tersangka pelaku kekerasan dan pemukulan masyarakat adat Deaa Natumingka, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Sumatera Utara.
Penyelesaian aduan masyarakat sangat perlu, agar tidak terulang kejadian serupa di kemudian hari.
“Kami akan mendesak Kapolres Toba, agar segera mengusut tersangka pelaku kekerasan dan pemukulan terhadap Masyarakat Adat Natumingka. Kami akan mendesak kepolisian agar segera memprosesnya,” kata Choirul saat menerima utusan Masyarakat Adat Desa Natumingka, yang menjadi korban tindak kekerasan yang diduga dilakukan pekerja PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang mengadu ke kantor Komnas HAM RI di Jakarta, Kamis (27/5/2021) siang.
Para korban kekerasan itu, datang bersama Aliansi Gerakan Rakyat (GERAK) Tutup TPL, menyampaikan pengaduan kasus pelanggaran HAM yang dialami Masyarakat Adat Natumingka dan Masyarakat Adat di Tano Batak Kawasan Danau Toba, pada umumnya.
Para utusan diterima Komisioner Komnas HAM Choirul Anam bersama staf di ruang Asmara Nababan di mana dialog pengaduan diselenggarakan.
Abdon Nababan, salah satu utusan dari Aliansi GERAK Tutup TPL, memberikan pengantar atas kedatangan utusan untuk memulai proses pengaduan.
“Kasus kekerasan terhadap Masyarakat Adat Natumingka hendaknya menjadi yang terakhir. Jangan ada lagi Natumingka-Natumingka lainnya. Saat kejadian, aparat Kepolisian berada di lokasi dan menyaksikan bentrokan tersebut, namun mereka diam saja bahkan cenderung membela karyawan TPL. Itu jelas pelanggaran HAM,” kata Abdon, pegiat masalah hak-hak masyarakat adat dan lingkungan hidup.
Sebelum kasus kekerasan terhadap warga Natumingka, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, dan Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), sejak 2015 terdapat 50 warga Kawasan Danau Toba yang menjadi korban intimidasi, kriminalisasi dan kekerasan yang diduga dilakukan pekerja TPL.
Pada 17 September 2019, terjadi bentrok pekerja PT. PTL Sector Aek Nauli kontra masyarakat dari Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) di Desa Sihaporas, Kecamatan Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun.
Anak di bawah umur, Mario Teguh Ambarita (3 tahun 6 bulan) menjadi korban luka, Bersama Thomson Ambarita. Ujungnya kasus Mario tidak diusut polisi, Thomson yang luka, menjabat sebagai Bendahara Umum Lamtoras malah masuk penjara. Ia Bersama Sekretaris Lamtoras Jonny Ambarita divonis 9 bulan. Adapun Humas PT TPL Bahara Sibuea, sampai sekarang berstatus tersangka di Polres Simalungun, tidak jelas ujungnya.
Sebelumnya, Kapolres Toba AKBP Akala Fikta Jaya terkait kisruh antara PT TPL dan warga adat Natumingka yang terjadinya pada Selasa 18 Mei 2021, memberikan pernyataan melalui Kasubbag Humas Polres Toba Iptu Bungaran Samosir.
Ia mengimbau dan mengajak kepada masyarakat serta pihak swasta agar saling menjaga kemananan, ketertiban dan kenyamanan di Sumatera Utara khususnya diwilayah hukum Kabupaten Toba.
“Dalam peristiwa bentrok sekelompok masyarakat Natumingka dengan TPL di Desa Natumingka, kami menyampaikan dan berharap kepada kedua pihak untuk dapat menahan diri dari permasalahan yang ada, agar tidak terjadi lagi bentrok. Saat ini kita mencari kesepakatan untuk solusi yang terbaik dengan tidak terlepas dari aturan-aturan hukum yang berlaku,” kata Bungaran, Sabtu (25/5/2021).
Bentrok berdarah itu mengakibatkan 12 warga luka-luka, Mereka adalah Jusman Simanjuntak (76 tahun, Ompu Leo), Jepri Tambunan (34 tahun), Swardi Simanjuntak (28 tahun), Ricard Simanjuntak (21 tahun), Samson Hutagaol (34 tahun), Hasiholan Hutapea (38 tahun), Hisar Simanjuntak (56 tahun), Setio Minar Simanjuntak (56 tahun), Tiurlan Sianipar (45 tahun), Nursita Simanjuntak (35 tahun), Sabar Sitorus dan Agustin Simamora (26 Tahun).
Adapun pihak TPL pengaku, dua orang karyawannya luka. “Kami menyesalkan atas terjadinya tindakan yang tidak diharapkan yang menyebabkan dua korban luka. Apalagi, aksi oleh sekelompok oknum masyarakat tersebut terjadi di tengah proses dialog untuk menyelesaikan isu-isu yang ada,” kata Direktur PT Toba Pulp Lestari Tbk Jandres Silalahi melalui keterangan tertulis, pekan lalu.
Minta Tindakan Konkret Komnas HAM
Setelah memberikan pengantar, Abdon mempersilakan utusan Masyarakat Adat Natumingka untuk langsung menyampaikan pengaduan kepada Komnas HAM.
Yanto Simanjuntak, adik Jusman Simanjuntak yaitu kakek usia 76 tahun yang menjadi korban luka akibat kena pukulan benda keras pekerja PT TPL saat bentrok di lapangan pada 18 Mei 2021, mengatakan kehadiran TPL justru membawa kesengsaraan.
Masyarakt sedang menanam jagung di tanah adatnya, tiba-tiba diduduki TPL dan ingin menanami kayu eucalyptus. “Kami jelas tidak menerima, sebab itu wilayah adat kami secara turun-temurun”, kata Yanto.
Kenan Simanjuntak, abang Jusman Simanjuntak, turut hadir. Ia mendesak TPL harus ditutup. Adiknya yang menjadi korban kekerasan adalah bukti bahwa TPL hanya menjadi penyengsara orang Batak.
Saudaranya yang lain turut hadir yakni Jannes Simanjuntak”, Kami mengharapkan tindakan konkret dari Komnas HAM terkait kasus di Natumingka”, kata Jannes.
Senada dengan Abdon, Jannes juga menekankan agar kasus serupa dituntaskan dan supaya tidak terulang di daerah-daerah lain di Kawasan Danau Toba.
Utusan lain dari Aliansi GERAK Tutup TPL juga turut berbicara di antaranya Johannes Marbun dari Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) dan Darman Siahaan dari Naposo Batak Jabodetabek (Nabaja).
Jo, panggilan akrab Johannes, menyoroti lima hal. Pertama, persoalan pencemaran lingkungan Danau Toba. Kedua, perihal kekerasan dan kriminalisasi yang sering menimpa masyarakat. Kemudian, tentang penggelapan pajak oleh perusahaan Sukanto Tanoto yang menurut laporan pemberitaan media masa tahun lalu.
Adapun Siahaan menekankan TPL sudah merusak lingkungan secara terus-menerus. Ia mengatakan kepada Komnas HAM agar kasus-kasus ini diselesaikan segera, sehingga ke depan tidak ada lagi pengaduan-pengaduan serupa ke Komnas HAM.
Komnas HAM Janji Hadir
Pada bagian lain, Choirul juga akan mendesak kepolisian memastikan tiga orang warga berstatus tersangka yang dilaporkan TPL pada Desember 2020 atas tuduhan menggarap lahan milik negara agar statusnya dipulihkan. Tidak tersangkanya lagi. “Hal-hal ini adalah tindakan tercepat yang akan kami kejar supaya bisa cooling down atau reda dulu dari situasi yang tengah memanas,” ujar Choirul.
“Kami juga akan hadir di tengah-tengah masyarakat, baik secara langsung maupun lewat pertemuan daring menggunakan Zoom. Kami ingin mendapat informasi tentang potret dan situasi lapangan.”
Untuk itu, Komnas HAM ingin berkomunikasi langsung dengan perwakilan dari 7 kabupaten di mana konflik-konflik tercipta atas kehadiran TPL.
“Kami juga akan mengkonsolidasikan data-data yang sudah ada di Komnas HAM terkait laporan dari komunitas-komunitas adat di Tano Batak yang sebelumnya juga banyak berkonflik dengan TPL, baik yang ada di bagian pelaporan maupun di bagian mediasi”, kata Choirul. (JM/TS)